Postingan

Sowan Kiai #1 : Ngaji Sana Sini

Selamat Idul Fitri 1440 H bagi yang memperingatinya. Taqobalallahu minna waminkum.. Idul Fitri selalu menjanjikan sebuah momentum tersendiri di setiap tahunnya. Dengan berakhirnya ibadah puasa Ramadhan atau dalam bahasa Jawa “lebar” sehingga idul fitri seringkali disebut sebagai lebaran, menurut beberapa pendapat lebaran ditafsirkan pula untuk melebur semuanya dengan saling memaafkan. Setelah sebelumnya disambut dengan mudik, lebaran selalu dan akan selalu dihiasi dengan ujung /keliling ke rumah-rumah tetangga, sanak saudara, dan orang-orang yang punya tempat tertentu di sudut memori kita (mantan juga termasuk dalam kategori ini ya, mengakulah) untuk sama-sama meleburkan maaf. Hal itu juga berlaku bagi kami, sekumpulan pemuda pemudi (kalau tidak bisa dikatakan sebagai alumni karena tidak ada ikatan formal diantara kami) untuk kemudian sowan ke guru yang dulu mengenalkan kembali aksara-aksara suci yang kabur dalam ingatan sewaktu masih bocah di sebuah dusun bernama Peku

Ramadhan yang Kita Artikan Rindu

Marhaban ya Ramadhan! Apa yang kita ingat jikalau mendengar kata Ramadhan? Puasa, sahur, iklan sirup, takjil, buka bersama dan sederet budaya kita dalam menghadapi atau menjalani bulan suci umat Islam ini. Tak heran pula, banyak yang memanfaatkan momen ini dengan berjualan menu berbuka puasa, yah karena nyatanya di Indonesia tingkat konsumtif umat muslim menjadi semakin tinggi di kala bulan puasa datang. Apapun rentetan budaya itu, patut kiranya kita sejenak bernafas dalam-dalam dan bersyukur, karena tak semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk merasakan bulan ini. Membicarakan Ramadhan tak elok kiranya jika kita tidak melihat budaya orang-orang dalam mempersiapkannya. Baik sebelum Ramadhan dimulai, saat menjalani puasa Ramadhan, dan memaknai Ramadhan dan lebaran yang khas Indonesia. Di desaku, Grabahan, orang-orang memaknai Ramadhan sebagai bulan suci yang sebelum memasukinya harus melalui penyucian pula. Dulu, orang tua di kampung sering menyuruh anak-anaknya untuk po

The Lost Boy : Sebuah Review

"Anak dengan segala kebutuhannya adalah sebuah proses yang menuntut orang di sekitarnya untuk memahami dan mendampingi." The Lost Boy karya Dave Pelzer ini merupakan sebuah cerita otobiografi penulisnya yang secara garis besar menceritakan prosesnya mencari jati diri dan mencari kehangatan cinta sebuah keluarga. Awalnya memang tak begitu tertarik, tetapi pada akhirnya memang buku ini kupinjam juga dari seorang kenalan. Dave Pelzer, sebagai penulis yang menceritakan pengalaman pribadi buku ini benar-benar memberikan efek yang nyata. Baik secara pengalaman traumatisnya, realita masyarakat terhadap seorang F-child, proses pencarian jati diri, frustasi terhadap lingkungan temporal dan tentu saja kegelisahan terhadap eksistensi keluarganya. Psychology and Traumatic Healing Satu hal yang tergambar jelas dalam novel true based story ini adalah bagaimana proses seorang Dave ini dalam menangani luka traumatiknya. Sebagai korban pelampiasan dari ketidaksehatan keluarga