The Lost Boy : Sebuah Review
"Anak dengan segala kebutuhannya adalah sebuah proses yang
menuntut orang di sekitarnya untuk memahami dan mendampingi."
The Lost Boy karya Dave Pelzer ini merupakan sebuah cerita
otobiografi penulisnya yang secara garis besar menceritakan prosesnya mencari
jati diri dan mencari kehangatan cinta sebuah keluarga. Awalnya memang tak
begitu tertarik, tetapi pada akhirnya memang buku ini kupinjam juga dari
seorang kenalan.
Dave Pelzer, sebagai penulis yang menceritakan pengalaman
pribadi buku ini benar-benar memberikan efek yang nyata. Baik secara pengalaman
traumatisnya, realita masyarakat terhadap seorang F-child, proses pencarian
jati diri, frustasi terhadap lingkungan temporal dan tentu saja kegelisahan
terhadap eksistensi keluarganya.
Psychology and Traumatic Healing
Satu hal yang tergambar jelas dalam novel true based story
ini adalah bagaimana proses seorang Dave ini dalam menangani luka traumatiknya.
Sebagai korban pelampiasan dari ketidaksehatan keluarga Pelzer, Dave sering
mengalami pengalaman pahit dan bahkan untuk sebagian orang
pengalaman-pengalaman yang dialami oleh Dave adalah sangat tidak manusawi.
Ketakutan terhadap sosok Ibu, sikap terhadap suara bentakan,
dan perangainya yang emosional adalah akibat dari pengalaman Dave selama
beberapa tahun di rumah itu. Pengalaman
tersebut akhirnya memberikan bekas terhadap psikologi seorang Dave. Dalam buku
ini, kita diajak untuk sadar akan realitas seorang anak asuh. Sekolah, misalnya
menjadi tempat paling menyenangkan daripada harus pulang dan bertemu dengan
sumber ketakutan.
Trias Pendidikan atau Tri Pusat Pendidikan yang Ki Hajar
Dewantara kemukakan yakni keluarga, lembaga pendidikan, dan lingkungan
mempunyai arus yang sangat penting dalam proses pengobatan luka traumatik Dave.
Bagaimana Dave untuk pertama kalinya merasakan hidup sebagai anak asuh di bawah
naungan Dinas Sosial Pemerintah California dan untuk kesekian kali
berpindah-pindah dari orang tua asuh yang satu ke orang tua asuh lainnya.
Keluarga yang bersifat temporal itu kemudian Dave manfaatkan
untuk mencari jati dirinya secara utuh. Kenakalan yang khas remaja pun tentu
saja ia lakukan sebagai bentuk pencarian eksistensi dirinya. Yang membuatku
heran sekaligus kagum adalah kesadarannya bahwa sesuatu yang bersifat sementara
ini ia hadapi dengan sikap tanggung jawab dan mandiri. Mungkin lelakunya
tersebut adalah antitesis terhadap probabilitas kehidupannya yang tinggi.
Ayah, Ibu dan Seorang Anak yang Hilang
Di bagian-bagian terakhir, Dave membuatku kagum akan
keberaniannya bertemu dan bertukar kegelisahan (atau bisa saja kusebut
kerinduan dengan cara pengungkapan masing-masing) bersama Stephen, sang Ayah.
Dengan kesadaran penuh dan bukan atas saran siapapun, dia
menemui Stephen. Dorongan kekhawatiran memaksa ia harus melihat dengan mata
kepala sendiri bagaimana nasib Stephen pasca kegagalan keluarganya. Pun juga
percakapannya dengan Ibu melalui
telepon adalah momen emosional Dave. Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun
berusaha merebut kembali anaknya, Ibu kini justru berbangga hati atas
pencapaian Dave. Momen inilah yang paling melegakan dan mengusir awan-awan
kelabu dalam pikiran. Everything getting
be better, finally.
Sebagai penutup, entah mengapa aku merasakan jarak yang
begitu jauh antara respon pemerintah terhadap kekerasan anak di California
(sebagai sebuah negara bagian USA) dan di Indonesia. Memang bukan sesuatu yang
komparatif, tetapi landasan atas responnya pun memang sudah berbeda. California
merespon kekerasan terhadap anak dengan proses advokasi dan pendampingan bahkan
sampai hal terkecil, sedangkan Indonesia masih terpaku pada yayasan-yayasan
penampung anak-anak terlantar dan yatim.
Namun sebagai warga negara yang mengharap bangsanya menjadi
bangsa yang baik. Aku mendambakan respon terhadap anak-anak terlantar dan yatim
itu bisa seperti di negeri yang jauh disana. Realitas anak-anak terlantar dan
yatim tentu saja tidak bisa diremehkan. Setidaknya kalau tidak mampu berbuat lebih,
maka minimal ringankan beban mereka.
“Untuk anak semua
bangsa, bangkitlah dan hapus air mata negaramu”
Wuhuuuuuu 100/100 😍😍😍😍
BalasHapusDitunggu postinganmu selanjutnya, mbak Muna
BalasHapus