Ramadhan yang Kita Artikan Rindu

Marhaban ya Ramadhan!

Apa yang kita ingat jikalau mendengar kata Ramadhan? Puasa, sahur, iklan sirup, takjil, buka bersama dan sederet budaya kita dalam menghadapi atau menjalani bulan suci umat Islam ini. Tak heran pula, banyak yang memanfaatkan momen ini dengan berjualan menu berbuka puasa, yah karena nyatanya di Indonesia tingkat konsumtif umat muslim menjadi semakin tinggi di kala bulan puasa datang.

Apapun rentetan budaya itu, patut kiranya kita sejenak bernafas dalam-dalam dan bersyukur, karena tak semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk merasakan bulan ini.

Membicarakan Ramadhan tak elok kiranya jika kita tidak melihat budaya orang-orang dalam mempersiapkannya. Baik sebelum Ramadhan dimulai, saat menjalani puasa Ramadhan, dan memaknai Ramadhan dan lebaran yang khas Indonesia.

Di desaku, Grabahan, orang-orang memaknai Ramadhan sebagai bulan suci yang sebelum memasukinya harus melalui penyucian pula. Dulu, orang tua di kampung sering menyuruh anak-anaknya untuk potong rambut, mandi, dan satu yang masih selalu kami ingat adalah sore sebelum Ramadhan dimulai, yakni berkunjung ke tempat sanak saudara atau keluarga kami dimakamkan. Terserah tafsir orang terkait hal itu, namun yang kuingat tentang wejangan orang tuaku bahwa dengan mengingat kematian dan keterbatasan waktu yang kita miliki barulah Ramadhan bisa kita jalani dengan baik.

Sebagai anak-anak, tentu lain lagi kami menjalani ramadhan ini. Biasanya, setelah ngangklang (memainkan irama dengan barang seadanya untuk membangunkan warga), kami pulang untuk sahur dan setelahnya pergi ke musholla untuk sholat subuh. Usai solat, kami berhamburan berjalan-jalan dari kampung lalu lewat jalan Condong (pasar tradisional) kami duduk-duduk santai di stasiun Weleri. Tak lupa, sepanjang perjalanan kami asyik bermain petasan. Entah apakah generasi berikutnya ikut-ikutan budaya aneh ini atau tidak tetapi kalau masih, selamat!

Kini setelah dewasa, kami hanya terkekeh saja ketika mengingat kelakuan kami atau ketika ditanya maksud dari agenda rutin itu yang ternyata menjadi hukum tak tertulis diantara anak-anak lelaki. Nek orak melu orak cah Grabahan (kalau tidak ikut, bukan anak Grabahan). Dan orang tua kami, yang mungkin saja juga melakukan hal yang sama dulu membolehkan dan membiarkan saja. Tentulah masa kanak-kanak kami punya nilai eksplorasi yang tinggi.

Begitulah kami mengingat Ramadhan sebagai bulan yang dirindukan baik karena fenomena, budaya, dan segala edukasi yang tentu saja bisa digali, dan dijadikan sumur untuk ngangsu kawruh. Tentu saja, beda daerah beda pula sikapnya menghadapi bulan suci ini. Dan tentu pula, muncul semacam perasaan romantisme dan rindu, terutama mereka yang berada di perantauan sana. Bersabarlah karena rindu kalian pasti berpulang.

Selamat menunaikan ibadah puasa, kawan. Semoga diberi kelapangan hati untuk selalu berkasih mesra dengan Allah supaya puasa mampu kita maknai dengan gembira.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyi Sunyi Buruh Tempo Hari

The Lost Boy : Sebuah Review

Kudapan Bocah Pesisir