Sowan Kiai #1 : Ngaji Sana Sini
Selamat Idul Fitri 1440 H bagi yang memperingatinya.
Taqobalallahu minna waminkum..
Idul Fitri selalu menjanjikan sebuah momentum tersendiri di
setiap tahunnya. Dengan berakhirnya ibadah puasa Ramadhan atau dalam bahasa
Jawa “lebar” sehingga idul fitri seringkali disebut sebagai lebaran, menurut
beberapa pendapat lebaran ditafsirkan pula untuk melebur semuanya dengan saling
memaafkan.
Setelah sebelumnya disambut dengan mudik, lebaran selalu dan
akan selalu dihiasi dengan ujung/keliling
ke rumah-rumah tetangga, sanak saudara, dan orang-orang yang punya tempat tertentu
di sudut memori kita (mantan juga termasuk dalam kategori ini ya, mengakulah) untuk
sama-sama meleburkan maaf.
Hal itu juga berlaku bagi kami, sekumpulan pemuda pemudi (kalau
tidak bisa dikatakan sebagai alumni karena tidak ada ikatan formal diantara
kami) untuk kemudian sowan ke guru yang dulu mengenalkan kembali aksara-aksara
suci yang kabur dalam ingatan sewaktu masih bocah di sebuah dusun bernama
Pekunden, Weleri. Yah begitulah, kami yang seumur anak SMA waktu itu tidak bisa
baca Al Quran. Baca aja sulit apalagi nulis. Ikatan yang kuat itulah yang jadi alasan
untuk selalu sowan ke guru kami, Yusuf Djupri.
Beda Telaga Beda Pula
Ikannya
Seperti tahun-tahun sebelumnya, rumah beliau selalu saja
ramai. Bedanya? Entahlah. Rasa-rasanya bosan tak pernah hinggap di hati kami
kalau sowan ke beliau.
Bedanya mungkin di pikiran kami. Terutama aku yang kerjaannya
mikirin sesuatu. Di sela-sela percakapan, ada pesan yang selalu konsisten
disampaikan oleh beliau yakni “Kamu boleh ngaji dimanapun. Ngaji disana, ngaji
disitu. Yang penting tetep ngaji, jangan sampai berhenti”
Dulu, pesan itu beliau sampaikan ketika kami diberi amanah
membimbing generasi sesudah kami untuk bisa BTA (Baca Tulis Alquran). Dan kami
memang mengartikan pesan itu menjadi motivasi adik-adik kami agar jangan sampai
putus ngaji apapun yang terjadi.
Kini, selayaknya manusia lain yang dipaksa berubah oleh dan
demi sang waktu.. Pesan itu kami (minimal aku lah) artikan berbeda dengan
sewaktu kami masih dalam lingkaran yang sama. Ngajilah dimanapun. Ngaji disana
ngaji disitu. Mengapa? Tentu saja untuk memperkaya perspektif, referensi, teman,
guru, dan pengalaman kami. Dan demi apapun, jangan sampai proses (ngaji) itu
berhenti.
Ketika ngajimu berhenti maka tentu saja kami akan berhenti di titik
yang sama. Tak mampu mengikuti arus kemudian tersingkir dari kata kemajuan.
Ngaji itu ngasah jiwo, kata orang jawa...
Dan memang, dari satu lingkaran ini satu demi satu telah
memilih jalan ngaji kami sendiri. Ada yang menjadi penulis, menjadi barista
caffe, aktif di banonnya Nahdlotul Ulama, ada pula yang di Muhammadiyah, dan
lain macamnya. Beda telaga beda pula ikannya.. Tapi selama masih memahami
sesama ikan. Telaga, lautan, atau tempat apapun yang disinggahi hanya sekedar
wadah. Dan wadah harusnya tidak menghilangkan eksistensi.
Sehat terus, abah kami.
Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap momen adalah ilmu.... Ngaji terus nganti nganu 😂
BalasHapusMemang mastah yang satu ini selalu jos tulisannya🤩
BalasHapusSeperti dikatakan orang JAWA, "Sing ora Ngaji, iku Ngaju"....
BalasHapusSelamat Hari Santri 22 Oktober 2019
Jangan Lupa Kunjungi: www.edentspublika.com
Terimakasih,